Minggu, 18 April 2010

Tentang Peraturan & Regulasi

Jika kita lihat dalam peraturan perundang-undangan yang konvensional, maka perbuatan pidana yang dapat digunakan dibidang cyber crime adalah; penipuan, kecurangan, pencurian dan perusakan, yang dilakukan secara langsung (dengan menggunakan bagian tubuh secara fisik dan pikiran) oleh si pelaku. Sementara itu jika hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan sarana

komputer, maka cyber crime dapat berbentuk sebagai berikut(Heru Soepraptomo:2001:6):

1. Penipuan komputer (computer fraud) yang mencakup:

a. Bentuk dan jenis penipuan adalah berupa pencurian uang atau harta benda dengan menggunakan komputer/siber dengan melawan hukum, ialah dalam bentuk penipuan data dan penipuan program, yang terinci adalah:

i. Memasukkan intruksi yang tidak sah, ialah dilakukan oleh seorang yang berwenang atau tidak, yang dapat mengakses suatu sistem dan memasukkan instruksi untuk keuntungan sendiri dengan melawan hukum (transfer).

ii. Mengubah data input, yang dilakukan seseorang dengan cara memasukkan data untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum (memasukkan daftar gaji pegawai melebihi yang seharusnya).

iii. Merusak data, dilakukan seseorang untuk merusak print-out atau output dengan maksud untuk mangaburkan, menyembunyikan data atau informasi dengan itikad tidak

baik.

iv. Penggunaan komputer untuk sarana melakukan perbuatan pidana, ialah dalam pemecahan informasi melalui computer yang hasilnya digunakan untuk melakukan kejahatan, atau

mengubah program.

b. Perbuatan pidana penipuan, yang sesungguhnya dapat termasuk unsur perbuatan lain, yang pada pokoknya dimaksudkan menghindarkan diri dari kewajiban (pajak) atau untuk memperoleh sesuatu yang bukan hak/miliknya melalui sarana komputer.

c. Perbuatan curang untuk memperoleh secara tidak sah harta benda milik orang lain, misalnya seseorang yang dapat mengakses komputer mentransfer rekening orang ke rekeningnya sendiri, sehingga merugikan orang lain.

d. Konspirasi penipuan, ialah perbuatan pidana yang dilakukan beberapa orang bersama-sama untuk melakukan penipuan dengan sarana komputer.

e. Pencurian ialah dengan senggaja mengambil dengan melawan hukum hak atau milik orang lain dengan maksud untuk dimilikinya sendiri.

2. Perbuatan pidana penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri.

3. Hacking, ialah melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa seizing atau dengan melawan hukum sehingga dapat menembus system pengamanan komputer yang dapat mengancam berbagai kepentingan.

4. Perbuatan pidana komunikasi, ialah hacking yang dapat membobolkan sisten on-line komputer yang menggunakan sistem komunikasi.

5. Perbuatan pidana perusakan sistem komputer, baik merusak data atau menghapus kode-kode yang menimbulkan kerusakan dan kerugian. Termasuk dalam golongan perbuatan ini adalah berupa penambahan atau perubahan program, informasi, media, sehingga merusak sistem, demikian pula sengaja menyebarkan virus yang dapat merusak program dan sistem komputer, atau pemerasan dengan menggunakan sara komputer/telekomunikasi.

6. Perbuatan pidana yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten, ialah berupa pembajakan dengan memproduksi barangbarang tiruan untuk mendapatkan keuntungan melalui perdagangan.

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP CYBER CRIME

Hukum selama ini dipahami hanya sebagai perangkat norma atau kaedah belaka yang sifatnya idealitas sebagai patokan mengenai sikap tindak atau perilaku masyarakat. Karena tidak dipahami sebagai tindak atau perilaku yang teratur sehingga wajar saja hukum kita bersifat formalistik dan legalistik. Hal ini tercermin dari praktek penegakan hukum (law enforcement) di dalam masyarakat yang mengedepankan hukum dalam arti positif semata.

Sementara itu, pembangunan hukum selama ini dititik beratkan pada hal-hal yang menyangkut substansi hukum (legal substance) tetapi lupa memperhatikan efektivitasnya di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan hukum dibuat demikian modern tidak berlaku efektif di dalam masyarakat bahkan tidak jarang ditolak. Hal yang benar adalah yang dapat dipahami masyarakat, jelas redaksinya, jelas tujuannya dan ada kepentingan masyarakat yang dilindungi. Oleh karena itu hukum dibuat harus konkret atau harus di konkretisasikan. Masyarakat harus mengetahui keberadaan hukum tersebut,

Untuk penegakan hukum terhadapat cyber crime maka ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan, seperti membuat peraturan perundang-undagan baru atau menambah beberapa pasal dalam peraturan perundang-undagan yang telah ada dan menentukan yurisdiksinya (Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto,

2002:91).

Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada pemanfaatan teknologi informasi telah diatur secara nasional yang kemudian disusul oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di Asia seperti Singapura, India dan Malaysia telah mengatur pula kegiatan-kegiatan di dunia maya ini. Amerika serikat selain melakukan penyesuaian (berupa amandemen) terhadap undang-undang yang memiliki relevansi dengan teknologi informasi juga dilakukan penyusunan undang-undang baru. Sesuai dengan sistem hukum yang dianut oleh Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Singapura, Malaysia, India yaitu system hukum Anglo-Saxon, maka pengaturan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara sektoral dan rinci. Setiap undang-undang hanya dimaksudkan untuk mengatur satu kegiatan tertentu saja. Apabila ditinjau dari sudut penerapannya, memang nampak lebih praktis dan terukur, namun kadang-kadang muncul kendala untuk mensinergikan dengan undang-undang lain yang memiliki keterkaiatan.

Bagi Indonesia, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku (kontinental) kiranya lebih tepat bila pengaturan tetatang pemanfaatan teknologi informasi disusun dalam suatu undang-undang yang bersifat pokok, namun mencakup sebanyak mungkin permasalahan (umbrella provisions). Mernurut E. Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto(2002:91) Indonesia perlu pengaturan atas kegiatankegiatan cyber space dilandasi oleh tiga pemikiran untama yaitu:

1. adanya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan-kegiatan di cyber space mengingat belum terakomondasinya secara memadai dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada.

2. upaya untuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang ditimbulkan akibat pemanfaatan teknologi informasi

3. adanya variable global yaitu perdagangan bebas dan pasar terbuka

(WTO/GATT)

Berkaitan dengan bentuk pengaturan di dalam cyber space, dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu apakah perlu menciptakan norma-norma baru dan peraturan-peraturan khusus untuk kegiatan/aktivitas di cyber space atau apakah cukup diterapkan model-model peraturan yang dikenal di dunia nyata (konvensional) saja.

Apabila diterapkan begitu saja kedua pendekatan tadi, ternyata sulit sekali memberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia nyata ke dalam dunia maya. Karena ada beberapa ketentuan hukum konvensional yang tidak dapat diterapkan atau sulit untuk diterapkan dalam kegiatan-kegiatan cyber space, seperti tentang alat bukti, tandatangan, tempat atau domisili para pihak dalam kontrak, pengertian di muka umum dalam kasus pornografi. Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan khusus dalam beberapa hal tertentu yang bersifat spesifik yang berlaku di cyber space.

Sumber : Riza Nizarli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar